Pada tanggal 26 Desember, saya bersama dengan rekan-rekan guru beserta pengurus yayasan mengadakan Family Gathering ke Jogja, Borobudur,Prambanan dan juga Wisata Volcano Merapi.
Ketika di Candi Borobudur, saya begitu menikmati pemandangan yang ada disana. Hati pun terasa tentaram. Di Prambanan, ketika saya memasuki candi yang berisi patung wanita besar, saya seketika melihat terdapat bungan seperti bekas sesajen,masih segar juga.
Namun, tubuh saya tiba-tiba saja seperti ada yang mendorong dengan begitu keras untuk memaksa saya keluar dari area itu. saya pun tetap bertahan untuk tidak keluar, namun tiba-tiba saja saya menjadi sesak dan tidak dapat bernafas. Leher saya serasa dicekik.
Dalam hati saya berbicara, Maaf, saya akan keluar.
Namun, setelah saya keluar dari area tersebut, kepala saya terasa pening dan berat. Tanggal 27 Desember, saya dan semua rekan saya pun berangkat menuju wisata Volcano Merapi. Sebenarnya ketika kami tiba didesa ini, terasa sangat adem dan pada saat itu telah zuhur.
Kami pun melaksanakan sholat berjamaah di mushola. Entah kenapa setelah melakukan sholat, rasanya tidak ingin melanjutkan perjalanan menggunakan mobil Jeep. Ada rasa ragu, namun dipaksa untuk ikut saya pun dengan berat hati ikut dengan mereka. Dari radius beberapa meter perjalanan saya masih bisa menikmati pemandangan yang berlatarkan perkampungan. Namun setelah sedikit lebih jauh kedalam, saya merasakan perasaan sedih yang tidak bisa saya tahan. Pada saat itu posisi saya sedang berada di samping driver.
Entah kenapa rasa sedih ini makin membucah dan membuat saya menangis. Dalam penglihatan saya, saya melihat dan mendengar suara-suara berderak seperti rumah yang roboh. Suara-suara panik orang berlarian, suara hewan ternak yang kesakitan. Banyak debu berterbangan, panas dan pekat. Selama jeep berjalan selama itu juga saya terus menangis karena tidak kuat melihat situasi yang terjadi kala itu.
Tidak terasa, rombongan kami telah sampai saja ke Rumah juru kunci merapi, Mbah Marijan. Kembali merasa sungkan ketika ingin memasuki area dari rumah Mbah tersebut. Namun, karena saya dipaksa dengan santai saya pun masuk ke rumah Mbah tersebut.
Pada saat itu, situasi sedang ramai dikunjungi oleh para wisatawan dan tiba-tiba saja saya melihat ada sosok orang tua yang mengenakan kacamata dengan menggunakan baju beskap dan bawahan jarit tersenyum ke arah saya. Entah megnapa di saat para wisatawan sedang menikmati dengan berfoto-foto dna menunjukkan raut senang, saya kembali menangis. Saya benar-benar tidak bisa menahan air mata saya ketika si mbah tersebut bercerita mengapa alsan dia tidak menyelamatkan dirinya ketika terjadi erupsi di Merapi pada waktu itu.
Si mbah pun berkata, apapun yang akan terjadi, saya tidak akan pernah untuk meninggalkan tempat. Saya lahir disini dan akan mati disini. Ini sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menjaga Merapi, biar yang lainnya bisa menyelamatkan diri dna apa kata orang nanti bila saya lari menyelamatkan diri. Banyak juga orang yang ingin bertahan disini, karena ini merupakan tanah kelahiran mereka sendiri.
Jika saya lari dan kemudian menyelamatkan diri saya, saya sangat malu untuk menghadap Sri Sultan. Ini sudah menjadi takdir bagi Mbah menjadi seperti ini. Mbah sangat ikhlas. Makin kencanglah tangisan saya ketika mendengar apa yang dijelaskan oleh Mba. Beliau benar-benar sangat beramanah dan tidak ingin mementingkan pribadinya sendiri. Rombongan yang lainnya masih menikmati waktu wisata tersebut, saya dengan memohon dan tangis saya belum juga berhenti, saya pun meminta driver jeep untuk segera mengantar saya ke base camp jeep, karena saya sudah tidak kuat lagi dan tidak tahan lagi untuk melihat semua kenyataan yang terjadi ketika saat terjadi erupsi dan abu vulkanik yang biasa mereka sebut dengan wedus gembel yang menyerang pemukiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar